Pelajaran
Selasa, 24 November 2015
Pengaruh dan Cara Mengatasi Penderitaan
PENGARUH PENDERITAAN
a. Pengaruh Negatif
Orang yang mengalami penderitaan mungkin memperoleh pengaruh bermacam- macam sikap dalam dirinya. Sikap yang timbul dapat berupa sikap negative, misalnya penyesalan karena tidak bahagia, sikap kecewa, putus asa, atau ingin bunuh diri.
b. Pengaruh Positif
Orang yang mengalami penderitaan mungkin juga akan memperoleh sikap positif dalam dirinya. Sikap positif adalah sikap optimis mengatasi penderitaan hidup, bahwa hidup bukan hanya rangkaian penderitaan, melaikan juga perjuangan membebaskan diri dari penderitaan. Penderitaan juga bisa menjadi introspeksi diri bagi diri kita agar bisa mengoreksi semua kesalahan yang ada dalam diri kita agar kehidupan kita jauh lebih baik.
CARA MENGATASI PENDERITAAN
Penderitaan yang sudah menjadi takdir atau pun nasib kita sebenarnya bisa kita hindari karena yang membuat hidup kita menderita adalah perbuatan yang kita lakukan. Penderitaan bisa kita atasi dengan cara :
1. memulai sesuatu hal dengan hal yang baik, dengan cara ini penderitaan bisa kita hindari karena dengan berbuat baik nasib kita bisa berubah sesuai dengan perbuatan yang telah kita lakukan. Tak lupa juga, dengan berpikiran positif. Karena segala sesuatunya bersumber dari pikiran kita.
2. lebih mendekatkan diri pada Tuhan, dengan cara ini apa yang kita perbuat akan sesuai dengan jalan dan seturut dengan perintahNya. Penderitaan kita bisa berkurang jika selalu mendekatkan diri pada yang kuasa. Untuk itu, hiduplah dengan hidup yang berada dijalanNya, insya allah, allah akan menjamin kebahagiaan di akhirat kelak.
3. jalani hidup dengan optimis, dengan cara ini penderitaan dalam hidup kita akan segera berlalu karena adanya suatu motivasi dalam diri untuk mengakhiri segala penderitaan yang telah terjadi dalam hidup ini.
Orang yang mengalami penderitaan mungkin akan memperoleh pengaruh bermacam – macam dan sikap dalam dirinya. Sikap yang timbul dapat berupa sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap negatif misalnya penyesalan karena tidak bahagia, sikap kecewa, putus asa, ingin bunuh diri. Sikap ini di ungkapkan dalam pribahasa “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”, “Nasi sudah menjadi bubur”. Kelanjutab dari sikap negatif ini dapat timbul sikap anti, misalnya anti kawin atau tidak mau kawin, tidak punya gairah hidup.
Sikap positif yaitu sikap optimis mengatasi penderitaan hidup, bahwa hidup bukan rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan membebaskan diri dari penderitaan, dan penderitaan itu adalah hanya bagian dari kehidupan. Sikap positif biasanya kreatif, tidak mudah menyerah, bahkan mungkin timbul sikap keras atau sikap anti, misalnya anti kawin paksa, ia berjuang menentang kawin paksa; anti ibu tiri, ia berjuang melawan sikap ibu tiri; anti kekerasan, ia beruang menentang kekerasan, dan lain – lain.
Apabila sikap negatif dan sikap positif ini dikomunikasikan oleh para seniman kepada para pembaca, penonton, maka para pembaca, para penonton akan memberikan penilaiannya. Penilaian itu dapat berupa kemauan untuk mengdakan perubahan nilai – nilai kehidupan dalam masyarakat dengan tujuan perbaikan keadaan. Keadaan yang sudah tidak sesuai ditinggalkan dan diganti dengan keadaan yang lebih sesuai. Keadaan yang berupa hambatan harus disingkirkan.
Makna Perkembangan Moral
A. Makna Perkembangan Moral
Perkembangan sosial merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan.
Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam dunia psikologi belajar terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan sosial ini paling menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah :
1. Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
2. Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters.
Pada tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitia yang mana pada penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg.
B. Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap II. Individualisme dan tujuan Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua : Penalaran Konvensional Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap III. Norma-norma Interpersonal Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tingkat IV. Moralitas Sistem Sosial Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu : Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.
Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan. Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat Dua : Moralitas Konvensional Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu : Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik
· Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
· Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan. · Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan. · Hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan. Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial. · Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik. · Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-alasan tertentu.
Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika· Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.
· Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya yaitu yang disebut karya sastra. Sastra boleh juga disebut karya seni karena didalamnya mengandung keindahan atau estetika. Sedangkan ilmu sastra adalah ilmu yang menyelediki karya sastra secara ilmiah atau bisa disebut bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra. Dalam ilmu satra terdapat disiplin ilmu yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Tiga disiplin ilmu tersebut merupakan merupakan pilar utama yang tidak dapat dipisahkan dalam ilmu sastra. Ketiga bidang tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi untuk menggali kedalaman sastra. Seperti halnya Kritik sastra yang memiliki peran besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, teori resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra.
Dalam kritik sastra terdapat beberapa pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan objektif dan pendekatan pragmatic. Khususnya pendekatan pragmatig, dimana pendekatan pragmatig yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dan pendekatan pragmatiglah yang berhubungan dengan salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra. Seperti halnya menurut Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. . Karya sastra sangat berhubungan erat dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Dan tanpa adanya pembaca, karya sastra tersebut hanya akan menjadi artefak.
Salah satu teori yaitu teori resepsi sastralah yang saya anggap cocok untuk mencoba menggali kedalamanya sastra dengan pembacanya. Teori resepsi sastra ini yang akan saya uraiakan pada makalah ini. Dimana dalam pembahasannya akan dijelaskan mengenai teori resepsi sastra, seperti halnya mengenai teori itu sendiri, sejarah teori, tokoh yang terlibat dalam teori ini, substansi dan metode kerjanya.
B. Rumusan Masalah
Ada 6 masalah yang akan dibahas dalam makalah ini.
1. Apa yang dimaksud dengan teori resepsi sastra?
2. Bagaimana sejarah perkembangan teori resepsi sastra?
3. Bagaimana konsep teori resepsi sastra?
4. Siapa saja tokoh teori resepsi sastra?
5. Bagaimana penerapan teori resepsi sastra?
6. Apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra?
C. Tujuan
Ada 6 tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini.
1. Mendeskripsikan yang dimaksud dengan teori resepsi sastra
2. Mengetahui sejarah perkembangan teori resepsi sastra
3. Mengetahuionsep teori resepsi sastra
4. Mengetahui tokoh teori resepsi sastra
5. Mengetahui penerapan teori resepsi sastra
6. Mendeskripsikan apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Sastra
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani 2001:253).
Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca (Ratna dalam Rahmawati 2008:22). Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna dalam Walidin 2007).
Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi benar saat teori resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis,postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
B. Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang DuniaKedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
C. Konsep Teori Resepsi Sastra
Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jausz dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Tumpuan perhatian dari teori sastra akan diberikan kepada teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri (Junus, 1985:49).
D. Tokoh Teori Resepsi Sastra
Teori Dalam membahas teori resepsi sastra, kita akan menemukan beberapa tokoh pemikir teori tersebut, seperti Hans Robert Jausz. Jausz adalah tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan pembaca. Pendekatan tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan Vodicka. Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abadpertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisangsastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakanproduk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yangterkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. Pada tahun 1967 Jausz menggegarkan dunia ilmu sastra tradisional di Jerman Barat. Jausz mempunyai latar belakang sebagai peneliti sastra dan sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurutnya, penelitian sejarah sastradi Eropa Barat menemui jalan buntu. Pada abad ke-20 menurut Jausz ada dua aliran yang menentangnya, aliran pertama yaitu pendekatan sastra kaum Marxis. kalangan Marxisme lebih menekankan pada sisi fungsi sosial karya dari pada nilai estetik karya tersebut dalam kajianya. Aliran kedua yaitu aliran formalis Rusia yang dianggap terlalu mementingkan nilai estetik karya dari pada nilai fungsi sosialnya. Berbagai survai mengenai pendekatan dalam penelitian sastra, dahulu dan sekarang. Jausz mengemukakan gagasannya yang baru, setidaknya dalam rangka ilmu sastra tradisional: menurut Jausz para peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, telah melupakan atau menghilangkan factor terpenting dalam proses semiotic yang disebut kasusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktir yang hakiki dalam menentukan dalam sastra.
1. Wolfgang Iser.
Berbeda dengan Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser (1987: 27-30) memberikan perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi pembaca yang dicptakan oleh teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak terlepas karena Iser (Ibid.: 182-203) juga mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, di mana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong mengandaikan teks bersifat terbuka, penulis seolah – olah hanya menyediakan kerangka secara global sehingga pembaca secara aktif dan kreatif dapat berpartisipasi.
2. Jonathan Culler
Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama. Konvensi dalam sastra jelas bersifat terbuka dan beragam sesuai dengan genre yang dimaksudkan oleh penulisny
E. Penerapan Teori Resepsi Sastra
Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.
Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman, dan usia pembaca.
1. Penerapan Metode Resepsi Sinkronis
Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.
Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah dilakukan oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu (2008).
Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan metode penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas cerita Bledhug Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu zaman. Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden dalam penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian resepsi sinkronis.
Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.
2. Penerapan Metode Resepsi Diakronis
Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode.Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu.
Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.(Chamamah dalam Jabrohim 2001: 162-163).
Metode diakronis yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang berupa kritik sastra. Penelitian resepsi diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli sastra, misalnya Yusro Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer (2007).
Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca menggunakan karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini menggunakan metode diakronis karena karya sastra yang digunakan muncul pada kurun waktu yang berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama Winardi (1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970).
Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya.
Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah penelitian yang dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra yang berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu antara tahun 1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis.
Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan pembacaan terhada karya sastra secara mendalam, karena ada tujuan lain dari proses pembacaan itu.
Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam artikel yang berjudul berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani menggunakan pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses penelitian terhadap tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronis ini, Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame Bovary di Indonesia.
F. Kelebihan dan Kelemahan Metode Penelitian Resepsi Sastra
Masing-masing metode dalam penelitian mempunyai kelebihan dan kelemahan. Begitu juga dalam penelitian resepsi sastra. Masing-masing metode, baik sinkronis maupun diakronis, mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut beberapa ahli, penelitian sinkronis mempunyai beberapa kelemahan dari segi proses kerjanya, karena termasuk penelitian eksperimental. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119) penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan pemabaca pada satu kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa sekarang, karena terbentur masalah waktu.
Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau eksperimental ini antara lain (1) reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu; (2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau ulasan mengenai karya sastra; dan (3) dapat dilakukan pada karya sastra populer. Pada penelitian resepsi diakronis, peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya penelitian dengan menggunakan karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya sastra lama, karya sastra tradisional, maupun karya sastra dunia.
Dalam metode diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan. Kelebihan lain dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan teknik wawancara maupun kuasioner pada responden.
Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian. Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian tanggapan atas Belenggu, Madame Bovary, Sri Sumarah dan Bawuk.
Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut. Dalam bidang puisi, peneliti yang menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan Mohamad akan merasa kesulitan dalam mencari teks Gatoloco yang asli. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagiyo Sastrowardoyo, bahkan untuk beberapa puisi modern yang mengadopsi cerita-cerita pewayangan.
BAB III
PENUTUP
Ada berbagai macam teori sastra yang diterapkan dalam menganalisis suatu karya sastra, dan di sini terfokus hanya pada teori resepsi sastra. Teori resepsi sastra yang bisa didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara – cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Teori resepsi sastra merupakan teori yang memfokuskan pembaca pembaca sebagai subjek yang aktif dalam menanggapi dan memaknai sebuah karya sastra, dalam memaknai karya sastra tiap orang akan berbeda dengan orang lainnya, dan bukan hanya tiap orang akan tetapi tiap periode juga berbeda dalam memaknai karya sastra. Sehingga perbedaan itulah yang memunculkan akan adanya cakrawala harapan dan tempat terbuka. Dan ini dari estetika resepsi yakni bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapatkan resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut jauss (1974: 12-3) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan – tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974:14).
Dalam menganalisis karya sastra yang menggunakan teori resepsi sebagai landasannya, maka bisa dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan metode sinkronik dan diakronik. Di mana sinkronik merupakan penelitian terhadap karya sastra dalam kurun waktu yang sama atau era yang sama, dan biasanya karya sastra yang diteliti yaitu karya sastra yang lagi meledak atau buming pada saat itu dan peelitian ini tergolong penelitian eksperimental dimana tidak ada bukti tertulis mengenai respon dari pembaca. Sedangkan metode diakronik yaitu sebuah metode penelitian terhadap karya sastra dalam beberapa periode. Periode yang dimaksud di sini yakni dalam perjalanan waktu. Metode diakronik ini bisa diterapkan pada karya sastra yang memiliki sejarah. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, hlm. 252-259. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Walidin, Muhammad. 2007. Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer
Pengertian Teori Sastra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya yaitu yang disebut karya sastra. Sastra boleh juga disebut karya seni karena didalamnya mengandung keindahan atau estetika. Sedangkan ilmu sastra adalah ilmu yang menyelediki karya sastra secara ilmiah atau bisa disebut bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra. Dalam ilmu satra terdapat disiplin ilmu yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Tiga disiplin ilmu tersebut merupakan merupakan pilar utama yang tidak dapat dipisahkan dalam ilmu sastra. Ketiga bidang tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi untuk menggali kedalaman sastra. Seperti halnya Kritik sastra yang memiliki peran besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, teori resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra.
Dalam kritik sastra terdapat beberapa pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan objektif dan pendekatan pragmatic. Khususnya pendekatan pragmatig, dimana pendekatan pragmatig yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dan pendekatan pragmatiglah yang berhubungan dengan salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra. Seperti halnya menurut Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. . Karya sastra sangat berhubungan erat dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Dan tanpa adanya pembaca, karya sastra tersebut hanya akan menjadi artefak.
Salah satu teori yaitu teori resepsi sastralah yang saya anggap cocok untuk mencoba menggali kedalamanya sastra dengan pembacanya. Teori resepsi sastra ini yang akan saya uraiakan pada makalah ini. Dimana dalam pembahasannya akan dijelaskan mengenai teori resepsi sastra, seperti halnya mengenai teori itu sendiri, sejarah teori, tokoh yang terlibat dalam teori ini, substansi dan metode kerjanya.
B. Rumusan Masalah
Ada 6 masalah yang akan dibahas dalam makalah ini.
1. Apa yang dimaksud dengan teori resepsi sastra?
2. Bagaimana sejarah perkembangan teori resepsi sastra?
3. Bagaimana konsep teori resepsi sastra?
4. Siapa saja tokoh teori resepsi sastra?
5. Bagaimana penerapan teori resepsi sastra?
6. Apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra?
C. Tujuan
Ada 6 tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini.
1. Mendeskripsikan yang dimaksud dengan teori resepsi sastra
2. Mengetahui sejarah perkembangan teori resepsi sastra
3. Mengetahuionsep teori resepsi sastra
4. Mengetahui tokoh teori resepsi sastra
5. Mengetahui penerapan teori resepsi sastra
6. Mendeskripsikan apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Sastra
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani 2001:253).
Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca (Ratna dalam Rahmawati 2008:22). Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna dalam Walidin 2007).
Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi benar saat teori resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis,postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
B. Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang DuniaKedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
C. Konsep Teori Resepsi Sastra
Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jausz dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Tumpuan perhatian dari teori sastra akan diberikan kepada teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri (Junus, 1985:49).
D. Tokoh Teori Resepsi Sastra
Teori Dalam membahas teori resepsi sastra, kita akan menemukan beberapa tokoh pemikir teori tersebut, seperti Hans Robert Jausz. Jausz adalah tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan pembaca. Pendekatan tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan Vodicka. Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abadpertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisangsastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakanproduk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yangterkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. Pada tahun 1967 Jausz menggegarkan dunia ilmu sastra tradisional di Jerman Barat. Jausz mempunyai latar belakang sebagai peneliti sastra dan sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurutnya, penelitian sejarah sastradi Eropa Barat menemui jalan buntu. Pada abad ke-20 menurut Jausz ada dua aliran yang menentangnya, aliran pertama yaitu pendekatan sastra kaum Marxis. kalangan Marxisme lebih menekankan pada sisi fungsi sosial karya dari pada nilai estetik karya tersebut dalam kajianya. Aliran kedua yaitu aliran formalis Rusia yang dianggap terlalu mementingkan nilai estetik karya dari pada nilai fungsi sosialnya. Berbagai survai mengenai pendekatan dalam penelitian sastra, dahulu dan sekarang. Jausz mengemukakan gagasannya yang baru, setidaknya dalam rangka ilmu sastra tradisional: menurut Jausz para peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, telah melupakan atau menghilangkan factor terpenting dalam proses semiotic yang disebut kasusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktir yang hakiki dalam menentukan dalam sastra.
1. Wolfgang Iser.
Berbeda dengan Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser (1987: 27-30) memberikan perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi pembaca yang dicptakan oleh teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak terlepas karena Iser (Ibid.: 182-203) juga mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, di mana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong mengandaikan teks bersifat terbuka, penulis seolah – olah hanya menyediakan kerangka secara global sehingga pembaca secara aktif dan kreatif dapat berpartisipasi.
2. Jonathan Culler
Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama. Konvensi dalam sastra jelas bersifat terbuka dan beragam sesuai dengan genre yang dimaksudkan oleh penulisny
E. Penerapan Teori Resepsi Sastra
Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.
Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman, dan usia pembaca.
1. Penerapan Metode Resepsi Sinkronis
Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.
Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah dilakukan oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu (2008).
Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan metode penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas cerita Bledhug Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu zaman. Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden dalam penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian resepsi sinkronis.
Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.
2. Penerapan Metode Resepsi Diakronis
Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode.Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu.
Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.(Chamamah dalam Jabrohim 2001: 162-163).
Metode diakronis yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang berupa kritik sastra. Penelitian resepsi diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli sastra, misalnya Yusro Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer (2007).
Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca menggunakan karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini menggunakan metode diakronis karena karya sastra yang digunakan muncul pada kurun waktu yang berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama Winardi (1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970).
Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya.
Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah penelitian yang dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra yang berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu antara tahun 1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis.
Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan pembacaan terhada karya sastra secara mendalam, karena ada tujuan lain dari proses pembacaan itu.
Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam artikel yang berjudul berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani menggunakan pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses penelitian terhadap tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronis ini, Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame Bovary di Indonesia.
F. Kelebihan dan Kelemahan Metode Penelitian Resepsi Sastra
Masing-masing metode dalam penelitian mempunyai kelebihan dan kelemahan. Begitu juga dalam penelitian resepsi sastra. Masing-masing metode, baik sinkronis maupun diakronis, mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut beberapa ahli, penelitian sinkronis mempunyai beberapa kelemahan dari segi proses kerjanya, karena termasuk penelitian eksperimental. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119) penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan pemabaca pada satu kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa sekarang, karena terbentur masalah waktu.
Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau eksperimental ini antara lain (1) reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu; (2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau ulasan mengenai karya sastra; dan (3) dapat dilakukan pada karya sastra populer. Pada penelitian resepsi diakronis, peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya penelitian dengan menggunakan karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya sastra lama, karya sastra tradisional, maupun karya sastra dunia.
Dalam metode diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan. Kelebihan lain dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan teknik wawancara maupun kuasioner pada responden.
Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian. Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian tanggapan atas Belenggu, Madame Bovary, Sri Sumarah dan Bawuk.
Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut. Dalam bidang puisi, peneliti yang menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan Mohamad akan merasa kesulitan dalam mencari teks Gatoloco yang asli. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagiyo Sastrowardoyo, bahkan untuk beberapa puisi modern yang mengadopsi cerita-cerita pewayangan.
BAB III
PENUTUP
Ada berbagai macam teori sastra yang diterapkan dalam menganalisis suatu karya sastra, dan di sini terfokus hanya pada teori resepsi sastra. Teori resepsi sastra yang bisa didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara – cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Teori resepsi sastra merupakan teori yang memfokuskan pembaca pembaca sebagai subjek yang aktif dalam menanggapi dan memaknai sebuah karya sastra, dalam memaknai karya sastra tiap orang akan berbeda dengan orang lainnya, dan bukan hanya tiap orang akan tetapi tiap periode juga berbeda dalam memaknai karya sastra. Sehingga perbedaan itulah yang memunculkan akan adanya cakrawala harapan dan tempat terbuka. Dan ini dari estetika resepsi yakni bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapatkan resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut jauss (1974: 12-3) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan – tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974:14).
Dalam menganalisis karya sastra yang menggunakan teori resepsi sebagai landasannya, maka bisa dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan metode sinkronik dan diakronik. Di mana sinkronik merupakan penelitian terhadap karya sastra dalam kurun waktu yang sama atau era yang sama, dan biasanya karya sastra yang diteliti yaitu karya sastra yang lagi meledak atau buming pada saat itu dan peelitian ini tergolong penelitian eksperimental dimana tidak ada bukti tertulis mengenai respon dari pembaca. Sedangkan metode diakronik yaitu sebuah metode penelitian terhadap karya sastra dalam beberapa periode. Periode yang dimaksud di sini yakni dalam perjalanan waktu. Metode diakronik ini bisa diterapkan pada karya sastra yang memiliki sejarah. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, hlm. 252-259. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Walidin, Muhammad. 2007. Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer
Minggu, 22 November 2015
MACAM-MACAM BILANGAN
MACAM-MACAM BILANGAN
#BILANGAN ASLI
Bilangan asli adalah himpunan bilangan bulat positif yang bukan nol.
Nama lain dari bilangan ini adalah bilangan hitung atau bilangan yang bernilai positif (integer positif).
Contoh :
{1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, ...}
#BILANGAN CACAH
Bilangan cacah adalah himpunan bilangan asli ditambah dengan nol.
Contoh :
{0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, ...}
#BILANGAN NEGATIF
Bilangan negatif
(integer negatif) adalah bilangan yang lebih kecil/ kurang dari nol. Atau juga bisa dikatakan bilangan yang letaknya disebelah kiri nol pada garis bilangan.
Contoh :
{-1, -2, -3, -4, -5, -6, -7, -8, -9, ...}
#BILANGAN BULAT
Bilangan bulat merupakan bilangan yang terdiri dari bilangan asli, bilangan nol dan bilangan negatif.
Contoh :
{-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, ...}
#BILANGAN PRIMA
Bilangan prima adalah bilangan asli lebih besar dari 1 yang faktor pembaginya adalah 1 dan bilangan itu sendiri.
Contoh :
{2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 29, ...}
#BILANGAN KOMPOSIT
Bilangan komposit adalah bilangan asli lebih besar dari 1 yang bukan merupakan bilangan prima. Bilangan komposit dapat dinyatakan sebagai faktorisasi bilangan bulat, atau hasil perkalian dua bilangan prima atau lebih. Atau bisa juga disebut bilangan yang mempunyai faktor lebih dari dua.
Contoh :
{4, 6, 8, 9, 10, 12, 14, 15, 16, 18, …}
#BILANGAN KOMPLEKS
Bilangan kompleks adalah
suatu bilangan yang merupakan penjumlahan antara bilangan real dan bilangan imajiner atau bilangan yang berbentuk a + bi. Dimana a dan b adalah bilangan real, dan i adalah bilangan imajiner tertentu. Bilangan real a disebut juga bagian real dari bilangan kompleks, dan bilangan real b disebut bagian imajiner. Jika pada suatu bilangan kompleks, nilai b adalah 0, maka bilangan kompleks tersebut menjadi sama dengan bilangan real a.
Contoh :
{3 + 2i}
#BILANGAN IMAJINER
Bilangan imajiner adalah bilangan yang mempunyai sifat i2 = −1. Bilangan ini merupakan bagian dari bilangan kompleks. Secara definisi, bilangan imajiner i ini diperoleh dari penyelesaian persamaan kuadratik :
x2 + 1 = 0
atau secara ekuivalen
x2 = -1
atau juga sering dituliskan sebagai
x = √-1
#BILANGAN REAL
Bilangan real atau bilangan riil
menyatakan bilangan yang dapat dituliskan dalam bentuk decimal, seperti 2,86547… atau 3.328184. Dalam notasi penulisan bahasa Indonesia, bilangan desimal adalah bilangan yang memiliki angka di belakang koma “,” sedangkan menurut notasi ilmiah, bilangan desimal adalah bilangan yang memiliki angka di belakang tanda titik “.”. Bilangan real meliputi bilangan rasional, seperti 42 dan −23/129, dan bilangan irrasional, seperti π dan √2, dan dapat direpresentasikan sebagai salah satu titik dalam garis bilangan.
Himpunan semua bilangan riil dalam matematika dilambangkan dengan R (berasal dari kata “real”).
#BILANGAN IRRASIONAL
Bilangan irrasional merupakan bilangan real yang tidak bisa dibagi atau lebih tepatnya hasil baginya tidak pernah berhenti. Sehingga tidak bisa dinyatakan a/b.
Contoh :
π = 3,141592653358……..
√2 = 1,4142135623……..
e = 2,71828281284590…….
#BILANGAN RASIONAL
Bilangan rasional adalah bilangan-bilangan yang merupakan rasio (pembagian) dari dua angka (integer) atau dapat dinyatakan dengan a/b, dimana a merupakan himpunan bilangan bulat dan b merupakan himpunan bilangan bulat tetapi tidak sama dengan nol. Bilangan Rasional diberi lambang Q (berasal dari bahasa Inggris “quotient”).
Contoh :
{½, ⅓, ⅔, ⅛, ⅜, ⅝, ⅞, ...}
Bilangan pecahan termasuk sekumpulan bilangan rasional. Pecahan desimal adalah pecahan-pecahan dengan bilangan penyebut 10, 100, dst. { 1/10, 1/100, 1/1000 }, semua bilangan ini dapat ditemukan dalam garis-garis bilangan.
Sebuah bilangan asli dapat dinyatakan dalam bentuk bilangan rasional. Sebagai contoh bilangan asli 2 dapat dinyatakan sebagai 12/6 atau 30/15 dan sebagainya.
#BILANGAN PECAHAN
Bilangan pecahan adalah bilangan yang disajikan/ ditampilkan dalam bentuk a/b; dimana a, b bilangan bulat dan b ≠ 0.
a disebut pembilang dan b disebut penyebut.
Relasi dan Fungsi Matematika
BAB I
PENDAHULUAN
Matematika diskret atau diskrit adalah cabang matematika yang membahas segala sesuatu yang bersifat diskrit. Diskrit disini artinya tidak saling berhubungan (lawan dari kontinyu). Objek yang dibahas dalam Matematika Diskrit seperti bilangan bulat, graf, atau kalimat logika tidak berubah secara kontinyu, namun memiliki nilai yang tertentu dan terpisah. Beberapa hal yang dibahas dalam matematika ini adalah teori himpunan, teori kombinatorial, permutasi, relasi, fungsi, rekursif, teori graf, dan lain-lain.
Hubungan (relationship), antara elemen himpunan dengan elemen himpunan lainnya sering dijumpai pada banyak masalah. Misalnya hubungan antara mahasiswa dengan mata kuliah yang diambil, hubungan antara bilangan genap dan bilangan yang habis dibagi 2 dan sebagainya. Di dalam bidang ilmu komputer, dapat dicontohkan hubungan antara program komputer dengan peubah yang digunakan, hubungan antara bahasa pemrograman dengan pernyataan (statement) yang sah, hubungan antara plaintext dan chipertext pada bidang kriptografi dan sebagainya (Munir,2001). Hubungan antara elemen himpunan dengan elemen himpunan lain dinyatakan dengan struktur yang disebut relasi. Dan fungsi merupakan bentuk khusus dari relasi.
BAB II
PEMBAHASAN
RELASI DAN FUNGSI
1. RELASI
a. Relasi dalam Himpunan
· Relasi dari himpunan A ke himpunan B, artinya memetakan setiap anggota pada himpunan A (x ∈ A) dengan anggota pada himpunan B (y ∈ B)
· Relasi antara himpunan A dan himpunan B juga merupakan himpunan, yaitu himpunan yang berisi pasangan berurutan yang mengikuti aturan tertentu, contoh (x,y) ∈ R
· Relasi biner R antara himpunan A dan B merupakan himpunan bagian dari cartesian product A × B atau R ⊆ (A × B)
b. Notasi dalam Relasi
· Relasi antara dua buah objek dinyatakan dengan himpunan pasangan berurutan (x,y) ∈ R
· Contoh: relasi F adalah relasi ayah dengan anaknya, maka:
F = {(x,y)|x adalah ayah dari y}
xRy dapat dibaca: x memiliki hubungan R dengan y
c. Contoh Relasi
Humpunan A : himpunan nama orang
A={Via, Andre, Ita}
Himpunan B : himpunan nama makanan
B={es krim, coklat, permen}
Relasi makanan kesukaan (R) dari himpunan A dan B adalah:
A B
A : Domain
B : Kodomain
R : Relasi dengan nama “ Makanan Kesukaan “
Relasi R dalam A artinya domain dan kodomainnya adalah A
d. Cara Menyatakan Relasi
1) Diagram Panah
A B
R={(x,y)|x menyukai y; x ∈ A dan y ∈ B
2) Himpunan Pasangan Berurutan
R={(Via,permen) , (Via,coklat) , (Andre,coklat) , (Andre,es krim) , (Ita,es krim)}
3) Diagram Kartesius
4) Tabel
Nama
Makanan
Via
Permen
Via
Coklat
Andre
Coklat
Andre
Es Krim
Ita
Es Krim
5) Matriks
· Baris = domain
· Kolom = kodomain
Permen
Coklat
Es krim
Via
1
1
0
Andre
0
1
1
Ita
0
0
1
6) Graph Berarah
· Hanya untuk merepresentasikan relasi pada satu himpunan (bukan antara dua himpuanan).
· Tiap unsur himpunan dinyatakan dengan sebuah titik (disebut juga simpul atau vertex)
· Tiap pasangan terurut dinyatakan dengan busur (arc).
i. Jika (a, b) ∈ R, maka sebuah busur dibuat dari simpul a ke simpul b.
ii. Simpul a disebut simpul asal (initial vertex)
iii. Simpul b disebut simpul tujuan (terminal vertex)
iv. Pasangan terurut (a, a) dinyatakan dengan busur dari simpul a ke simpul a sendiri. Busur semacam itu disebut loop
· Contoh graph berarah
Misalkan R = {(a, b), (b, c), (b, d), (c, c) (c, a), (c, d), (d, b)} adalah relasi pada himpunan {a, b, c, d}.
7) Latihan 1
· Z = {1,2,3,4};
· R = {(x,y)|x > y ; x ∈ Z dan y ∈ Z}
· Nyatakan relasi tersbut dalam bentuk
a) Himpunan pasangan berurutan
b) Matrix
c) Graf
e. Sifat-sifat Relasi
1) Refleksif
· Sebuah relasi dikatakan refleksif jika sedikitnya: x ∈ A, xRx
· Minimal
2) Transitif
· Sebuah relasi dikatakan bersifat transitif jika:
xRy , yRz => xR ; (x,y, z) ∈ A
· Contoh: R = {(a,d),(d,e),(a,e)}
3) Simetrik
· Sebuah relasi dikatakan bersifat simetris jika:
xRy, berlaku pula yRx untuk (x dan y) ∈ A
· Contoh:
A={a,b,c,d}
R={(a,a),(b,b),(c,c),(d,d),(a,b),(b,a),(c,d),(d,c)}
4) Asimetrik
· Relasi asimetrik adalah kebalikan dari relasi simetrik
Artinya (a,b) ∈ R, (b,a) ∉ R
· Contohnya: R = {(a,b), (a,c), (c,d)}
5) Anti Simetrik
· Relasi R dikatakan antisimetrik jika, untuk setiap x dan y di dalam A; jika xRy dan yRx maka x=y
6) Equivalen
· Sebuah relasi R dikatakan equivalen jika memenuhi syarat:
a) Refelksif
b) Simeteris
c) Transitif
7) Partially Order Set (POSET)
· Sebuah relasi R dikatakan terurut sebagian (POSET) jika memenuhi syarat:
a) Refleksif
b) Antisimetri
c) Transitif
8) Latihan 2
a) A={1,2,3,4} Sebutkan sifat untuk relasi < pada himpunan A !
b) Apakah relasi berikut asimetris, transitif?
R = {(1,2),(3,4),(2,3)}
c) Apakah R = {(a,a),(a,b),(a,c),(b,b),(b,a),(c,c)} refleksif?
d) R merupakan relasi pada himpunan Z, yang dinyatakan oleh aRb jika dan hanya jika a=b atau a= –b
Periksa, apakah relasi tersebut merupakan relasi ekivalen !
f. Operasi dalam Relasi
· Operasi himpunan seperti irisan, gabungan, selisih, dan penjumlahan (beda setangkup) juga berlaku pada relasi
· Jika R1 dan R2 masing-masing merupakan relasi dari himpuna A ke himpunan B, maka R1 ∩ R2, R1 ∪ R2, R1 – R2, dan R1 ⊕ R2 juga adalah relasi dari A ke B.
1) Contoh operasi relasi
Misalkan A = {a, b, c} dan B = {a, b, c, d}.
Relasi R1 = {(a, a), (b, b), (c, c)}
Relasi R2 = {(a, a), (a, b), (a, c), (a, d)}
Maka :
· R1 ∩ R2 = {(a, a)}
· R1 ∪ R2 = {(a, a), (b, b), (c, c), (a, b), (a, c), (a, d)}
· R1 − R2 = {(b, b), (c, c)}
· R2 − R1 = {(a, b), (a, c), (a, d)}
· R1 ⊕ R2 = {(b, b), (c, c), (a, b), (a, c), (a, d)}
2) Operasi dalam bentuk matriks
· Misalkan bahwa relasi R1 dan R2 pada himpunan A dinyatakan oleh matriks
· Maka
g. Komposisi Relasi
· Misalkan :
R adalah relasi dari himpunan A ke himpunan B
T adalah relasi dari himpunan B ke himpunan C.
· Komposisi R dan S, dinotasikan dengan T ο R, adalah relasi dari A ke C yang didefinisikan oleh :
T ο R = {(a, c) | a ∈ A, c ∈ C, dan untuk suatu b ∈ B sehingga (a, b) ∈ R dan (b, c) ∈ S }
· Contoh komposisi relasi
Ø Misalkan, A = {a, b, c}, B = {2, 4, 6, 8} dan C = {s, t, u}
Ø Relasi dari A ke B didefinisikan oleh :
R = {(a, 2), (a, 6), (b, 4), (c, 4), (c, 6), (c, 8)}
Ø Relasi dari B ke C didefisikan oleh :
T = {(2, u), (4, s), (4, t), (6, t), (8, u)}
Ø Maka komposisi relasi R dan T adalah
T ο R = {(a, u), (a, t), (b, s), (b, t), (c, s), (c, t), (c, u)}
2. FUNGSI
a. Fungsi dari Himpunan
· Fungsi adalah bentuk khusus dari relasi
· Sebuah relasi dikatakan fungsi jika xRy, untuk setiap x anggota A memiliki tepat satu pasangan, y, anggota himpunan B
· Kita dapat menuliskan f(a) = b, jika b merupakan unsur di B yang dikaitkan oleh f untuk suatu a di A.
· Ini berarti bahwa jika f(a) = b dan f(a) = c maka b = c.
· Jika f adalah fungsi dari himpunan A ke himpunan B, kita dapat menuliskan dalam bentuk : f : A → B
artinya f memetakan himpunan A ke himpunan B.
· Nama lain untuk fungsi adalah pemetaan atau transformasi.
b. Domain, Kodomain, dan Jelajah
· f : A → B
· A dinamakan daerah asal (domain) dari f dan B dinamakan daerah hasil (codomain) dari f.
· Misalkan f(a) = b,
maka b dinamakan bayangan (image) dari a,
dan a dinamakan pra-bayangan (pre-image) dari b.
· Himpunan yang berisi semua nilai pemetaan f dinamakan jelajah (range) dari f.
c. Penulisan Fungsi
1) Himpunan pasangan terurut.
· Misalkan fungsi kuadrat pada himpunan {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,10} maka fungsi itu dapat dituliskan dalam bentuk :
f = {(2, 4), (3, 9)}
2) Formula pengisian nilai (assignment)
· f(x) = x2 + 10,
· f(x) = 5x
d. Jenis-jenis Fungsi
1) Fungsi Injektif
· Fungsi satu-satu
· Fungsi f: A → B disebut fungsi satu-satu jika dan hanya jika untuk sembarang a1 dan a2 dengan a1 tidak sama dengan a2 berlaku f(a1) tidak sama dengan f(a2). Dengan kata lain, bila a1 = a2 maka f(a1) sama dengan f(a2).
2) Fungsi Surjektif
· Fungsi kepada
· Fungsi f: A → B disebut fungsi kepada jika dan hanya jika untuk sembarang b dalam kodomain B terdapat paling tidak satu a dalam domain A sehingga berlaku f(a) = b.
· Suatu kodomain fungsi surjektif sama dengan range-nya (semua kodomain adalah peta dari domain).
3) Fungsi Bijektif
· Fungsi f: A → B disebut disebut fungsi bijektif jika dan hanya jika untuk sembarang b dalam kodomain B terdapat tepat satu a dalam domain A sehingga f(a) = b, dan tidak ada anggota A yang tidak terpetakan dalam B.
· Dengan kata lain, fungsi bijektif adalah fungsi injektif sekaligus fungsi surjektif.
4) Fungsi Invers
· Fungsi invers merupakan kebalikan dari fungsi itu sendiri
f : A ® B di mana f(a) = b
f –1: B ® A di mana f –1(b) = a
· Catatan: f dan f –1 harus bijective
e. Operasi Fungsi
· (f + g)(x) = f(x) + g(x)
· (f . g)(x) = f(x) . g(x)
· Komposisi:
(f o g)(x) = f(g(x))
f. Latihan 3
f(x) = x2 + 1
g(x) = x + 6
Tentukan:
a. (f + g)(x)
b. (f – g)(x)
c. (f . g)(x)
d. (f o g)(x)
e. Invers dari g(x)
kesadaran moralitas menurut Lawrence Kohlberg
kesadaran moralitas menurut Lawrence Kohlberg
I. Moralitas Pra-Konvensional.
1. Jenjang Pertama
Moralitas yang mengandalkan kalkulasi untung-rugi dan hukuman. Hal ini sering disebut dengan moralitas kekanak-kanakan ( BOCAH ). Ketaatannya pada aturan (konvensi) bukan dengan rela dan sadar bahwa hukum yang dimaksud, benar dan baik adanya, tetapi karena takut terkena sanksi. Contoh : si James tau mencuri kue itu tidak boleh, namun dengan alasan karena takut dipukuli dan ditelanjangi ama emak (sanksi) bukan karena mencuri itu suatu perbuatan pidana dalam unsure kejahatan.
Itu persoalan mekanis terhadap anak kecil, lain lagi terhadap orang dewasa. Orang dewasa sudah pandai sedikit. Contohnya si Mahmud mengendarai motor dengan sangat pelan-pelan karena didepanya ada polisi sedang berpatroli, lalu kemudia ketika Mahmud telah melewati polisi tersebut langsung si Mahmud menancapkan gasnya penus seperti di Film F*st and F*rious . Inilah jenjang pertama yang berorientasi kepada “ HUKUMAN “.
2. Jenjang Kedua.
Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang sudah mulai menghitung-hitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan moral seorang adalah “alat” atau “instrument” untuk mencapai tujuan diatas. Saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. “ You search my back and I Stratch you”. Kata orang Amerika, “ Anda menggaruk punggung ku, dan saya menggaruk punggu mu “. Sudah ada rasa keadilan disini tapi keadilan yang berdasarkan perhitungan.
Kholberg mengatakan, nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat instrumental artinya, sebagai alat untuk mencapai kenikmatan sebanyak banyak dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Rasa takut dihukum masih merupakan faktor, tapi bukan tanpa perhitungan. Contoh :
James, tahu dosennya melakukan suatu tindakan plagiat / pelanggaran hak cipta. Apakah james akan mengadukan dosennya itu kepada kepihak berwajib. ataupun kepada Pembantu Dekan 1, sangatlah ditentukan oleh kalkulasi untung ruginya. Mana yang menguntukan bagi dirinya, melaporkan pada polisi atau “ SALAM DAMAI “ dengan dosennya ( mungkin nilai bs dapet A ). Jenjang ini masih pra konvensional. Sebab pertimbangan pokok bukanlah apa yang benar dan apa yang baik secara kolektif, tetap apa yang menguntungkan bagi diri subyektifnya.
II. Moralitas Konvensional.
Jenjang Ketiga.
Sesuatu apa yang benar dan baik itu ditentukan oleh orang lain. “Saya tidak menetapkannya, Saya hanya tinggal mematuhinya, dan saya tidak melakukan hal itu bukan karena takut dihukum, tetapi lebih karena keluarga, pacar, gebetan, atau bos saya melarang untuk melakukan itu “.
Moralitas pada jenjang ini telah merupakan perkembangan yang luar biasa dibandingkan jenjang-jenjang sebelumnya. Tapi karena sifatnya terbatas, maka moralitas seperti ini kadang berhadapan dengan masalah. Masalah terbesarnya ialah, bila terjadi perbenturan atas pertentangan loyalitas. Harapan-harapan yang ada pada setiap kelompok bukan saja berbeda-beda, tapi boleh jadi malah saling bertentangan satu sama lainnya.
“ Loyalitas saya sebagai anggota keluarga yang menuntut saya untuk bersikap dan bertindak jujur dimana saja, tapi dimana saya di lingkungan pekerjaan saya, hal itu tidak mungkin. Saya justru akan tersingkir/dimusuhi oleh kejujuran saya itu. Mana yang harus saya pilih ? “
Dalam hal hubungan inilah, kholberg melihat bahwa jenjang berikutnya merupakan perkembangan yang signifikan.
· Jenjang Keempat.
Lanjutan dari permasalahan jenjang ketika, bila terjadi konfilik loyalitas seperti disebut diatas apa yang kita jadikan dasar untuk memilih dan mengambil suatu keputusan atas permasalahan itu ?
Jawaban yang sederhana ialah, kita harus merujuk pada suatu prinsip/hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum obyektif yang tidak berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih mendimensi universal inilah orientasi dari moralitas pada jenjang keempat. Pada jenjang ini seorang sudah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk mengengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi.
Manakah yang harus dipilih, korupsi atau tidak ? Masalahnya bukan memilih pada mana yang lebih memberi jaminan identitas dan sekuiritas, akan tetaou apa HUKUMANNYA ?
Kata kunci dalam jenjang keempat ini adalah “ Kewajiban” ( Duty ). Kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bukan hanya agar kita diterima oleh orang lain, tapi oleh karena kita sadar bahwa itu adalah kewajiban kita menurut hukum yang berlaku umum yang harus ditaati bukan karena memberi jaminan identitas. Dengan melaksanakan kewajiban untuk, dapat saja kita akan tersingkit dari kelompok kita. Tetapi itu tidak lagi menjadi ganjalan yang utama. Persoalan kita, bukan lagi soal akan disukai atau tidak disukai oleh orang lain, tetapi apakah kita menaati hukum yang berlaku atau tidak.
Menurut Kholberg, jenjang keempat diatas, belum merupakan puncak perkembangan moral manusia. Memang, dibandingkan dengam moralitas pra-konvensional yang berpusat pada diri sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala jauh lebih luas. Bahkan jenjang keempat, cakrawala tidak lagi terbatas pada kelompoikm yang parochial, melainkan lebih universial. Tetapi, tetap belum universal dalam arti sesungguhnya. Loyalitas saya pada hukum atau undang-undang, tentu jauh lebih luas dibandingkan dengan loyalitas saya kepada ketentuan-ketentuan keluarga. Namun, betapun luasnya “ Negara “ tetap merupakan satu kelompok, belum universal. Belum mencakup seluruh umat manusia. Ketetapan-ketetapan yang ada, bagaimanapun hanya berlaku dalam batas-batas kelompok tertentu.
· Moralitas Purna Konvensional
· Jenjang Kelima
Jika pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri, tidak dipertanyakan. Mempertanyakan, malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang kelima, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada, sebenarnya tidak lain dari kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh karena itu, kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta-merta dianggap sacral, yang tidak dapat diubah. Bila hukum tidak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah .
Ada sikap kritis dalam jenjang kelima ini. Orang senantiasa memperjuangkan keutaman dalam isi hukum ketimbang bersikap formal-legalistik (sebagaimana jenjang keempat).
· Jenjang keenam.
Menurut Kholberg, pada jenjang inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncaknya, yaitu moralitas yang pantang mengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Orang-orang tidak takut menentang arus. Berani dalam kesendirian. “ RELA MENERIMA MATI DARIPADA MENIPU DIRI”.
Semua itu bukan untuk kepuasan dan kepentingan diri pribadi, melainkan kepentingan bersama. Visi dan misinya jelas, yaitu demi tegaknya harkat dan martabah seluruh umat manusia. Untuk semua itu, orang-orang seperti Mahatma Gandhi melakukan tindakan-tindakan yang sering kali tidak tercerna oleh akal sehat orang-orang biasa. Moralitas mereka, bukan irasional tetapi melampaui akal atau bisa disebut Moralitas yang transrasional.
Itu adalah kerangka pemikiran Kholberg, dapat kita manfaatkan untuk melakukan suatu kajian terhadap perilaku hukum dari berbagai kelompok-kelompok sosial atau sebagai refreleksi terhadap diri kita sendiri untuk menempa diri agar menjadi suatu insan yang lebih baik lagi. Dengan begitu kita berkesapakan melakukan pemetaan pola perilaku hukum dari sisi moralitas. Abakig dengan itu, kita juga memanfaatkan kerangka-kerangka analisi lain yang bermanfaat untuk pengembangan kajian terhadap hukum sebagai fenomena manusia dan sosial .
Langganan:
Komentar (Atom)